PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Masyarakat
indonesia memiliki semboyan bhinika tunggal ika
yang berarti berbeda-beda tetap satu jua . dengan semboyan itu
menandakan bahwa indoensia mereupakan sebuah Negara yang meiliki keanekaragaman
manusia . indonesia memiliki banyak suku
yang meiliki kebudayaan masing-masing , dengan semboyan bhinaka tunggal ika
tersebut di harapkan indonesia dapat hidup rukun dalam perbedaan yang ada di
indonesia . karena setiap suku yang memiliki sebuah kebudayaan atau adat istiadat
yang berbeda . setiap seku yang memiliki
sebuah kebiasaam tersendiri dalam kelompoknya . mereka memiliki norma dan nilai-nilai social
yang mereka gunakan untuk mengontrol anggota kelompok . masyarakat menganggap semua norma yang
mengatur dan menata tindakan tidak sama beratnya , dalam masyarakat ada norma
yang sabgat berat sehingga apa bila mereka melakuakan pelanggaran terhadap
norma tersebut akanada akibat dari tindakan itu . para pelanggar akan di tuntut
, di adili dan di hukum akantetapi ada norma yang dianggap ringan sehingga
apabila di langgar tidak aka nada akibat yang berat , akan tetapi akan
mendapatkan ejekan ,atau gunjingan saja dari masyarakat . oleh karena itu
masyarakat setiap suku menggunakan identitas yang ada dan sesuai berdasarkan
kelompoknya . menurut Clifford geertz , indonesia merupakan Negara tempat semua
arus cultural sepanjang tiga millennia mengalir berurutan memasuki nusantara
dari india , cina timur tengah dan eropa
yang terwakili di tempat-tempat tertentu seperti di bali terdapat komunitas
hindu , pemukiman cina di Jakarta dan usat muslim yaitu di aceh . banyak fakta
historis cultural yang di katakn geertz . geertz menunjukkan fakta tentang
situasi masyarakat indonesia yang memiliki struktur social yang besar seperti
sistem-sistem melayu polinesia di pedalaman Kalimantan dan Sulawesi.
Budaya dan etnis adalah dua hal yang sangat erat
kaitannya,tdk dapat di pisahkan satu dengan lainnya,karena setiap kelompok
masyarakat memiliki kebiasaan yang di sebut Budaya dan setiap Budaya pasti
memiliki etnis tertentu sebagai ciri dari sekumpulan budaya tersebut . Corak
khas dari kebudayaan bisa tampil karena
kebudayaan itu menghasilkan suatu unsure yang kecil yang berupa suatu
unsure kebudayaan fisik dengan bentuk khusus. Budaya merupakan suatu kepercayaan, nilai-nilai dan
kebiasaan yang dipelajari seseorang, yang dapat mengarahkan seseorang tersebut
dalam menggunakan suatu barang atau jasa. Kepercayaan, nilai-nilai dan
kebiasaan itu dapat muncul bila seseorang melakukan interaksi, hubungan dan
saling mempengaruhi dalam berperilaku. Kelompok etnik atau
suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya
mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis
keturunan yang dianggap sama. Identitas suku pun ditandai oleh pengakuan dari
orang lain akan ciri khas kelompok tersebut dan oleh kesamaan budaya, bahasa,
agama, perilaku atau ciri-ciri biologis . Setiap kebudayaan atau
adatt istiadat dalam suatau etnis memiliki unsure- unsure tersendiri seperti
sistem ekonomi misalnya memiliki wujud sebagai konsep , rencana , kebijaksanaan
, adat istadat yang berhubungan dengan ekonomi , akan tetapi mempunyai juga
wujudnya yang berupa tindakan dan intraksi berpola produsen ,peralatan dan
benda ekonomi . demikian juga dengan sistem religi . missal mereka memiliki sebuah kepercayaan
tentang tuhan , dewa , roh halus , surge dan neraka . yang memiliki sebuah
kebiasaan seperti upacara dalam proses kepercayaan mereka . semua aktivitas manusia yang bersangkutan
dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa , yang biasanya di sebut
dengan emosi keagamaan . emosi keagamaan ini biasanya mendorong orang untuk
melakukan religi . dalam religi biasanya
terdapat suatu benda, suatu tindakan atau gagasan-gagasan yang menurut
masing-masing kelompok di anggap keramat . diantara unsure-unsur upacara di
dalam suatu kelompok tersebut ada sesuatu yang dianggap penting sekali dalam
suatu agama tetapi tidak di kenal dalam kelompok lain , suatu acara biasanya
mengandung suatu rangkaian yang terdiri dari unsure-unsur dalan sebuah budaya .
Setiap suku di
indonesia di satukan di indonesia , akan tetapi bukan berarti suku-suku itu
menjadi satu . kesatuan wilayah yang
dimiliki di indonesia menyebabkan kesatuan adat-istadat , rasa identitas dan
rasa loyalitas terhadap komunitas sendiri bagi warga Negara indonesia . indonesia yang memiliki keanekaragaman suku
bangsa , agama , ras dan stratifikasi social telah menumbuhkan kelompok-kelompok
atau lembaga-lembaga yang berjalansendiri-sendiri . Norma dan nilai kelompok di dalam masyarakat lebih luas
disebut dengan pola etnis. Etnisitas adalah proses identifikasi kelompok dimana
orang menggunakan label etnis untuk mendefinisikan diri mereka dan orang lain.
Etnisitas merupakan semacam kombinasi keduanya, termasuk kekuatan atau
kelemahan afiliasi orang yang mempunyai kelomok etnis sehingga tingkat dimana
orang didalam kelompok etnis berbagi persepsi dan kognisi yang sama dan yang
berbeda dengan persesp dan kognisi kelopok etnis yang lain, mereka merupakan kelompok
pasar yang berbeda. sebuah budaya atau adat-istadat dalam
suatu kelompok merupakan merupakan tingkat yang paling tinggi untuk
mempersatuakan mereka , dari nilai budaya yang merupakan konsep-konsep mengenai
sesuatu yang ada di dalam pikiran sebagian besar dari masyarakat yang mereka
anggap bernialai , berharga dan penting dalam kehidupan sehingga dapat
berfungsi sebagai suatu pedoman yang member arah dan orientasi pada kihidupan
yang damai . setiap suku yang memiliki perbedaan tentu mengalami sebuah konflik
baik dalam kelompok ataupun di luar kelompok .
walaupun penyatuan secara nasional telah di lakukan dan telah terbentuk
secara politisi , tetap dalam kenyataan bangsa indonesia selalu mengalami
konflik – konflik . konflik ini di defenisikan sebagai pecekcokkan
, perselisihan atau pertentangan ,
konflik ini lahir karena perbedaan-perbedaan baik fisik , emosi , kebudayaan
dan prilaku . perbedaan-perbedaan itu memuncakk menjadi konflik ketika sistem
social mmasyarakatnya tidak dapat mengakomodasi perbedaaan –perbedaan
tersebut , hal itu m endorong setiap
individu untuk saling menghancurkan . contoh konflik lampung selatan dan lampung
utara :
Firman Noor
Munculnya
berbagai kasus kerusuhan di beberapa tempat di Indonesia menunjukkan bahwa
potensi konflik tak segera selesai dengan terbukanya keran demokratisasi. Dalam
konteks Indonesia, Baladas Goshal (2004) telah memperingatkan, terlepas sisi
positif yang dibawanya, demokratisasi juga memberikan peluang bagi meluasnya
potensi konflik.
Belum
lama ini konflik besar kembali terjadi. Kali ini menimpa Lampung Selatan,
tepatnya di wilayah Kalianda. Dalam kasus ini, soal pelecehan seksual yang
diduga sebagai pemicu konflik, yang telah menelan belasan korban jiwa ini,
sebenarnya hanyalah puncak dari gunung es.
Dilihat
dari akar penyebabnya, kasus Lampung—dalam batas-batas tertentu— dapat
dikatakan bersifat klasik. Di dalamnya melibatkan tipe konflik yang bernuansa
primordial, yang mengingatkan kita pada konflik yang terjadi di Sampit, Sambas,
Kalbar, dan sejumlah daerah pascareformasi. Meski sebagian kalangan melihat
konflik antarkampung di Lampung ini tak terkait masalah etnisitas, mengabaikan
faktor ini juga kurang tepat. Hal ini mengingat secara kasat mata pihak-pihak
yang berkonflik memiliki keterkaitan kuat dengan kedua etnis yang terlibat,
yakni etnis Lampung dan Bali.
Sejak
kehadirannya, etnis Bali—berbeda dengan orang Jawa—dipandang membawa persoalan
tersendiri bagi sebagian masyarakat Lampung. Gugus persoalan ini mencakup
”legitimasi kehadiran” masyarakat Bali yang dipandang masih bermasalah karena
menempati wilayah yang belum sepenuhnya diizinkan ataupun karena perbedaan adat
kebiasaan dan agama. Kenyataan pula bahwa kedua etnis relatif hidup terpisah
dalam nuansa yang eksklusif (enclave). Tidak mengherankan jika kedua
etnis itu kerap masih merasa asing satu dan lainnya. Hal ini terjadi terutama
di Lampung Selatan dan Lampung Utara.
Meski
secara kultural sebenarnya kedua etnis itu memiliki kearifan lokal yang dapat
diandalkan untuk menciptakan kerukunan dan mencegah konflik, tetapi dalam
berbagai kasus konflik terlihat bahwa kearifan lokal itu seolah sirna.
Masyarakat
Lampung punya kearifan lokal berupa Piil Pesenggiri (Piil), yang di
dalamnya terkait soal kehormatan diri yang muncul karena kemampuan mengolah
kedewasaan berpikir dan berperilaku. Di sini kemampuan hidup berdampingan
dengan berbagai kalangan, termasuk pendatang, merupakan salah satu inti ajaran
Piil itu. Begitu juga masyarakat Bali dengan ajaran Bhinneka Tunggal
Ika, Tatwam Asi (kamu adalah aku dan aku adalah kamu)
dan Salunglung Sabayantaka, yang mengajarkan demikian dalam
arti penting hidup berdampingan secara damai.
Situasi
di Lampung ini cerminan bahwa nilai-nilai kearifan lokal makin terpinggirkan.
Setidaknya mengalami pergeseran makna. Konsep Piil, misalnya,
mengalami penyempitan makna sekadar membela harga diri. Alih-alih dikaitkan
keharusan kedewasaan berperilaku, masalah ”kehormatan diri” justru jadi alasan
pembenaran untuk menempuh cara apa pun sejauh itu dianggap dapat menjaga harga
diri. Sementara respons dari kalangan Bali menunjukkan bahwa nilai-nilai
kedamaian dan toleransi yang dianut juga tidak mampu bekerja dengan sempurna.
Tentu
saja, persoalan primordial ini tidak berdiri sendirian. Dalam kasus Lampung,
persoalan ini berkelindan dengan kenyataan adanya disparitas ekonomi, yang bagi
sementara kalangan sudah makin terlihat nyata. Kaum pendatang, terutama Bali,
merupakan komunitas yang cukup sejahtera, sementara etnis Lampung tidak cukup
baik kondisinya sebagai ”tuan rumah”. Di sini, persoalan klasik kecemburuan
sosial antara ”pribumi” dengan ”pendatang” telah cukup membutakan akal sehat
dan menjadi rumput kering yang berpotensi membara manakala menemukan
pemantiknya.
B. Rumusan
masalah
A. Apa
penyebab terjadinya konflik di antara
lampung selatan dan lampung utara ?
B. Apa
dampak yang di timbulkan dari konflik tersebut ?
C. Tujuan
Untuk
menanalisa dan mempelajari apa yang menjadi penyebab terjadinya konflik , dan
apa dampak yang muncul akibat konflik tersebut .
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penyebab
terjadinya konflik antara Lampung selatan dan lampung Utara
Lampung termasuk salah satu wilayah berpotensi rawan konflik.
Lantaran secara demografi, Lampung memiliki jumlah penduduk sekitar 9 juta jiwa
dengan persentase pendatang mencapai 60 persen. Lampung
Selatan berupa konflik horizontal antara masyarakat asli dengan pendatang dari
suku Bali. konflik
pada 27 sampai 29 kemarin adalah menewaskan 12 orang. Tiga masyarakat asli
Kalianda, dan pendatang dari Bali meninggal 9. Hampir 450 rumah terbakar konflik
tersebut merupakan kasus yang berulang dan lebih dalam lagi akar-akar
persoalannya. Kebetulan kasusnya dipicu pelecehan terhadap dua gadis remaja oleh pemuda desa tetangga kemudian
membesar hingga muncul korban . Tampaknya yang dominanmenonjol adalah “perasaan harga diri”
karena merasa telah dilecehkan sehingga harus membalasnya dengan kekerasan
fisik. Mereka jauh dari sikap tega terhadap nyawa manusia sebagai korban atas
balas dendam yang dilakukan. Mereka pun jauh dari kesadaran bahwa para pelaku
pelecehan itu adalah kelompok anak muda di mana barangkali hanya perilaku iseng
atau bagian dari kenakalan belaka-produk dari rumah tangga dan lingkungan yang
kurang memperhatikan pembinaan moral generasi di tengah arus sekularisasi dan materialisme
yang demikian gencar .
Sejak kehadirannya, etnis Bali berbeda dengan orang Jawa dipandang
membawa persoalan tersendiri bagi sebagian masyarakat Lampung. Gugus persoalan
ini mencakup ”legitimasi kehadiran” masyarakat Bali yang dipandang masih bermasalah
karena menempati wilayah yang belum sepenuhnya diizinkan ataupun karena
perbedaan adat kebiasaan dan agama. , unrur – unsure baru dan lama
bertentangan secara bersamaan akan
mempengaruhi norma-norma dan nilai-nilai yang kemudian berpengaruh pula kepada
masyarakat , yang dapat menyebabkan
gangguan secara kontinu terhadap keserasian masyarakat .
Masyarakat pribumi takut jika datanganya penduduk lain atau berasal dari etnis yang berbeda dapat mempengaruhi dan merubah kebudayaan
masyarakat yang ada di lampung karena terpengaruh dengan datangnya sebuah adat
istadat yang baru . konflik yang di picu
oleh pelecehan du gadis oleh teanga ini menyebabkan konflik etnis itu muncul ,
mereka melakukan yang menurut mereka benar , masyarakat prbumi ingin mengembalikan
pola-pola kehidupan berdasarkan kebudayaan mereka sendiri yang terwujud sebagai
kebudayaan atau adat yang sebelumnya berlaku , yang mereka angap sebagai yang
adil , benar dan beradab . konflik ini mendorong terjadinya konflik yang cukup besar
karena adanya rasa solidaritas yang ada di dalam suatu kelompok .
menurut emile
Durkheim solidaritas menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu dan /
atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut
bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama . dengan adanya
solidaritas di dalam kelompok masing-masing menyebabkan konflik ini menjadi
membesar , karena di dalam suatu kelompok yang mengalami pelecehan itu hanya
gadis akan tetapi gadis tersebut merupakan anggota dari suku merka mereka akan mempertahankan dan akan membela
kelompok atau suku mereka dengan menjunjung nama baik dari setiap kelompok itu
sendiri . sehingga antara kelompok lampung utara dan lampung selatan tetap mempertahankan
pendapat mereka dan tidak ingin kelompok mereka kalah . baik
itu lampusng selatan atau pun lampung utara mempertahankan posisi mereka demi
menjaga harga diri etnis mereka yang terdiri dari etnis bali dan etnis lampung
.
persoalan primordial ini tidak
berdiri sendirian. Dalam kasus Lampung, persoalan ini berkelindan dengan
kenyataan adanya disparitas ekonomi, yang bagi sementara kalangan sudah makin
terlihat nyata. Kaum pendatang, terutama Bali, merupakan komunitas yang cukup sejahtera, sementara etnis Lampung tidak cukup baik kondisinya
sebagai ”tuan rumah”. Di sini, persoalan klasik kecemburuan sosial antara
”pribumi” dengan ”pendatang . konsep
minoritas dan moayoritas ini di anggap sebagaislah satu penyebab munculnya
konflik , walaupun masyarkat bali yang berada di lampung hanyalah minoritas
akan tetapi masyarakat ini memiliki ekonomi yang cukup tinggi di bandingkan
kaum mayoritas yang ada di lampung .
B. Dampak
yang di timbulkan dari konflik antara lampung selatan dan lampung utara
Konflik
social dapat berdampak positif ataupun berdampak negative . berdampak positif
jika konflik antara lampung selatan dan lampung utara menyebabkan meningkatnya
perbaikan struktur atau sistem social di dalam kelompok ataupun di luar
kelompok . pettnatangan dapat juga
menjadi sara untuk mencapai kesseimbangan anatara kekuatan-kekuatan dalam
masyarakat , oleh karena timbulnya pertentangan antara lampung selatan dan
lampung utara yang menunnjukkan selama ini bahwa akomodasi sebelumnya yang
tidak di hiraukan , dengan adanya sebuah konflik maka diadakan perubahan-perubahan
dalam hubungan antara kekuatan –kekuatan dalam masyarakat lampung . di dalam
kelompok baik itu lampung selatan maupun lampung utara dapat meningkatkan
solidaritas yang ada di dalam kelompoknya masing-masing . W.Ogburn mengatakan
bahwa semakin besar permusuhan atau konflik
terhadap konflik atau kelompok luar , semakin besar pula integrasi atau solidaritas intern yang di
miliki di dalam kelompok . kerjasama mungkin akan semakin kuat , apabila
akan adanya bahaya yang mengancam kelompok mereka dari luar atau ada sikap dan tindakan dari luar
yang menyinggung kesetiaan yang secara tradisional yag membuat teracam kelompok
mereka
Sebaliknya
konflik lampung utara dan laampung selatan akan berdampak negative jika
pertentangan atau konflik tersebut diakhiri oleh perpecahan Negara . konflik ini yang awalnya menyatukan kedua
belah pihak akan tetapi dengan adanya konflik ini dapat menimbulkan retaknya
persatuan antara pihak lampung utara dan lampung selatan . konflikk ini jika semakin meluas akan
menyebabkan hancurnya harta benda seperti yang terjadi pada puncak konflik yang
menyebabkan rumah –rumah hancur , dan menyebabkan bebrapa orang meninggal serta
masyarkat menjadi terluka akibat konflik tersebut .
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keserasian atau
harmoni dalam masyarakat sangat di idam-idamkan setiap masyarakat termasuk
masyarakat lampung utara dan lampung selatan .
adanya pendatang baru dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan serta
kekecewaan di antara para warga yang dapat menimbulkan konflik , konflik yang
awalnya merupakan sebuah konflik tersembunyi kemudiandengan adanya suatu
masalah yang di mulai oleh salah satu masyarakat menyebabkan konflik itu
menjadi terbuka .
Meneurut
soerjono soekanto ada lima bentuk konflik yag terjadi di masyarakat .
1. Konflik
atau pertentangan pribadi .
Konflik ini terjadi
antara dua atau lebih individu karena perbedaan pandangan dan pendapat .
2. Konflik
atau pertentangan rasial .
Konflik ini timbul
akibat perbedaan-perbedaan cirri badaniah , ras etnik . konflik ini biasanya terjadi di dalam
masyarakat di mana slah satu kelompok maenjadi kelompok mayoritas dan kelompok
minoritas
3. Konflik
atau pertentangan di dalam kelas –kelas social . konflik ini mumnya terjadi
karena adanya perbedaan-perbedaan kepentingan .
B. Saran
Konflik antar
lampung selatan dan lampung utara ini harus di lakukan komunikasi yang lebih
efektif antara kedua belah pihak yang berkonflik , efektifitas komunikasi yang baik dalam masyarakat akan
mempercepat integrasi social anatr kedua belah pihak . Secara umum pengendalian
konflik ada tiga cara yaitu :
1. Konsiliasi
Bentuk pengendalian
konflik seperti ini di lakukan melalui lembaga-lembaga tertentu yang
memungkingkan adanya diskusidan pengambilan keputusan antara pihak lampung utara
dan lampung selatan . pihak lampung
utara dan lampung selatan masing-masing bertemu satu sama lain di dalam suatu
lembaga seperti lembaga perwakilan rakyat untuk menyelesaikan konflik mereka
2. Mediasi
Pengen dalian konflik
dengna cara mediasi ini dilakuakn apabila kedua belah pihak anatara lampung
selatan dan lampung utara sepakat untuk menunjuk satu pihak ketiga sebagai
mediator . melalui pihak ketiga ini akan memberikan pemikiran-pemikiran atau
nasehat-nasehatnya tentang cara terbaik untuk menyelesaikan konflik yang sedang
mereka alami . wlaupun pemikiran pihak ketiga ini tidak bersifat mengkiat,
namun cara pengendalian seperti inin kadang-kadang menghaslikkan penyelesaian
yang cukup efektif untuk mengurangi irasonal yang biasanya yang timbul didalam konflik
.
3. Arbitrasi
Arbitrasi atau
perwasitan umumnya di lakukan pabila kedua belah pihak yang berkonflik sepakat
untuk menerima atau terpaksa menerima hadirnya pihak ketiga yang akan
memberikan pemikiran-pemikiran ertentu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi
dianta lampung selatan dan lampung utara . dalam bentuk mediasi pihak ketiga
yang memberikan pemikiran aatau nasehat kepada pihak yang berkonflik bersifat
tidak mengikat akan tetapi jika di arbitrasi kedua belah pihak lampung selatan
dan lampung utara harus menerima keputusan-keputusan yang di ambil oleh pihak
ketiga . keputusan itu bersifat mengikat
.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmadi,
abu . 2009 . PSIKOLOGI SOSIAL . Jakarta : Rineka Cipta
Soekanto
, soerjono . 2012 . Sosiologi suatu
pengantar . Jakarta : PT Rajagrafindo Persada
Koentjananigrat
. 2009 . Pengantar ilmu antropologi (cetakan IX) . Jakarta : PT Rineka Cipta
Mall
, hugh,, dkk . 2000. RESOLUSI DAMAI KONFLIK KONEMPORER . Jakarta : PT
Rajagrafindo Persada
Rohman,
taufiq ,, dkk . 2007 . Sosiologi ( suatu kajian kehidupan masyarakat ) .
Jakarta : Ghalia Indonesia
Soekanto
, soerjono . 2010 . Hukum adat indonesia . Jakarta: PT Rajagrafindo Persada .
www.wikipedia
.com
www.
Kompas.com